Rabu, 28 Mei 2008

Definisi Tasauf

Dalam sejarah perkembangannya, Sufi dan Tasauf beriringan. Beberapa sumber dari para Ulama Sufi, para orientalis maupun dari kitab-kitab yang berkait dengan sejarah Tasauf memunculkan berbagai definisi. Definisi ini pun juga berkait dengan para tokoh Sufi setiap zaman, disamping pertumbuhan akademi Islam ketika itu. Namun Reinold Nicholson, salah satu guru para orientalis, membuat telaah yang terlalu empirik dan sangat historik, dan terjebak oleh paradigma akademik-filosufis. Pandangan Nicolson tentu diikuti oleh para orientalis berikutnya yang mencuba meneroka khazanah esoterisme dalam dunia Islam, seperti J Arbery, atau pun Louis Massignon. Walaupun sejumlah penelitian mereka harus diakui cukup berharga untuk meneroka sisi lain yang selama ini terpendam.

Bahawa dalam sejarah perkembangannya menurut Nicholson, tasauf adalah sebagai bentuk ekstrimitas dari aktivitas keagamaan di masa dinasti Umawy, sehingga para aktivisnya melakukan ‘Uzlah dan semata hanya demi Allah saja hidupnya। Bahkan lebih radikal lagi Tasauf muncul akibat dari sinkretisme Kristian, Hindu, Buddha dan Neo-Platonisme serta Hellenisme. Penelitian filosufis ini, tentu sangat terpengaruh, karana fakta-fakta spiritual pada dasarnya memiliki keutuhan otentik sejak zaman Rasulullah Muhammad saw, baik secara tekstual maupun historis.


Dalam kajian soal Sanad Tarekat, pada Bab II bagian 3, bisa terlihat bagaimana validitas Tasauf secara praktis, hingga sampai pada alurnya Tasauf Rasulullah saw. Fakta itulah yang nantinya akan membuka cakrawala historis, dan kelak juga berpengaruh munculnya berbagai jenis Thariqat yang kemudian terbahagi menjadi Tarekat Mu’tabarah dan Ghairu Mu’tabarah.

Pandangan paling monumental tentang Tasauf justru muncul dari Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang Ulama sufi abad ke 4 hijriyah. Al-Qusyairy sebenarnya lebih mengumpulkan dari seluruh pandangan Ulama Sufi sebelumnya, sekaligus menepis bahawa definisi Tasauf atau Sufi muncul melalui akar-akar historis, akar bahasa, akar intelektual dan filsafat di luar dunia Islam. Walaupun tidak secara transparan Al-Qusyairy menyebutkan definisinya, tetapi dengan mengangkat sejumlah wacana para tokoh Sufi, menunjukkan betapa Sufi dan Tasauf tidak dikaitkan dengan sejumlah etimologi maupun sebuah tradisi yang nantinya kembali pada akar Sufi.

Dalam penyusunan buku Ar-Risalatul Qusyairiyah misalnya, ia menegaskan bahawa apa yang ditulis dalam risalah tersebut untuk menunjukkan kepada mereka yang salah faham terhadap Tasauf, semata-mata kerana kebodohannya terhadap hakikat Tasauf itu sendiri. Menurutnya Tasauf merupakan bentuk amaliyah, ruh, rasa dan pekerti dalam Islam itu sendiri. Ruhnya adalah friman Allah swt.:

“Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya rugilah orang-orang yang mengotorinya.,” (Q.s. Asy-Syams: 7-8)

”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia berdzikir nama Tuhannya lalu dia solat.” (Q.s. Al-A’laa: 14-15)

“ Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang alpa.” (Q.s. Al-A’raaf: 205)

“Dan bertaqwalah kepada Allah; dan Allah mengajarimu (memberi ilmu); dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.s. Al-Baqarah : 282)

Sabda Nabi saw:

“Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu” (H.r. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)

Tasauf pada prinsipnya bukanlah tambahan terhadap Al-Qur’an dan hadits, justru Tasauf adalah impklementasi dari sebuah kerangka agung Islam.

Secara lebih terperinci, Al-Qusyairy meyebutkan beberapa definisi dari para Sufi besar:

Muhammad al-Jurairy:
“Tasauf bererti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela.”

Al-Junaid al-Baghdady:
“Tasauf ertinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu bersama denganNya.”

“Tasauf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt. Tanpa terikat dengan apa pun.”

“Tasauf adalah perang tanpa kompromi.”

“Tasauf adalah anggota dari satu keluarga yang tidak boleh dimasuki oleh orang-orang selain mereka.”

“Tasauf adalah dzikir bersama, ekstase yang diserta sama’, dan tindakan yang berpandukan Sunnah Nabi.”

“Kaum Sufi seperti bumi, yang diinjak oleh orang soleh maupun pendosa; juga seperti mendung, yang memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.”

“ Jika engkau meliuhat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriyahnya, maka ketahuilah bahawa wujud batinnya rosak.”

Al-Husain bin Manshur al-Hallaj:
“Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun menerimanya dan juga tidak menerima siapa pun.”

Abu Hamzah Al-Baghdady:
“Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, dapat penghormatan tertinggi setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tidak dikenali.”

Amr bin Utsman Al-Makky:
“Tasauf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik saat itu.”

Mohammad bin Ali al-Qashshab:
“Tasauf adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia di tengah-tengah kaum yang mulia.”

Samnun:
“Tasauf bererti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki apapun.”

Ruwaim bin Ahmad:
“Tasauf ertinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apa pun yang dikehendakiNya.”

“Tasauf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan meninggalkan sikap kontra, dan memilih.”

Ma’ruf Al-Karkhy:
“Tasauf ertinya, memihak pada hakikat-hakikat dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada makhluk”.

Hamdun al-Qashshsar:
“Bersahabatlah dengan para Sufi, kerana mereka melihat dengan alasan-alasan untuk memaafkan perbuatan-perbuatan yang tak baik, dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun bukan suatu yang besar, bahkan mereka bukan menganggapmu besar kerana mengerjakan kebaikan itu.”

Al-Kharraz:
“Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan jiwa yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Mereka diseru oleh rahsia-rahsia yang lebih dekat di hatinya, ingatlah, menangislah kalian kerana kami.”

Sahl bin Abdullah:
“Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.”

Ahmad an-Nuury:
“Tanda orang Sufi adalah ia rela manakala tidak punya, dan peduli orang lain ketika ada.”

Muhammad bin Ali Kattany:
“Tasauf adalah akhlak yang baik, barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam Tasauf.”

Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary:
“Tasauf adalah tinggal di pintu Sang Kekasih, sekali pun engklau diusir.”

“Tasauf adalah Sucinya Taqarrub, setelah kotornya berjauhan denganya.”

Abu Bakr asy-Syibly:
“Tasauf adalah duduk bersama Allah swt. tanpa hasrat.” “Sufi terpisah dari manusia, dan bersambung dengan Allah swt. sebagaimana difirmankan Allah swt, kepada Musa, “Dan Aku telah memilihmu untuk DiriKu” (Thoha: 41) dan memutuskannya dari yang lain. Kemudian Allah swt. berfirman kepadanya, “Engkau tak akan melihatKu.”

“Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan Yang Haq.”

“Tasauf adalah kilat yang menyala, dan Tasauf terlindung dari memandang makhluk.”

“Sufi disebut Sufi karana adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.”

Al-Jurairy:
“Tasauf berarti kesadaran atas keadaaan diri sendiri dan berpegang pada adab.”

Al-Muzayyin:
“Tasauf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.”

Askar an-Nakhsyaby:
“Orang Sufi tidaklah dikotori suatu apa pun, tetapi menyucikan segalanya.”

Dzun Nuun Al-Mishry:
“Kaum Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah swt. diatas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada.”

Muhammad al-Wasithy:
“Mula-mula para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan, dan sekarang tak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan.”

Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusy:
“Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, siapakah, yang menurutmu Sufi itu? ” Lalu ia menjawab, “Yang tidak di bawa bumi dan tidak dinaungi langit.” Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada keleburan.”

Ahmad ibnul Jalla’:
“Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu bahawa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tidak memiliki sarana-sarana duniawi. Mereka bersama Allah swt. tanpa terikat pada suatu tempat tetapi Allah swt, tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karananya dia disebut Sufi.”

Abu Ya’qub al-Madzabily:
“Tasauf adalah keadaan dimana semuanribut kemanusiaan terhapus.”

Abul Hasan as-Sirwany:
“Sufi yang bersama ilham, bukan dengan wirid yang menyertainya.”

Abu Ali Ad-Daqqaq:
“Yang terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, “Inilah jalan yang tidak cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah swt, untuk menyapu kotoran binatang.”
“Seandainya sang fakir tak punya apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya, dan ruhnya ditawarkannya pada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang menaruh perhatian padanya.”
Abu Sahl ash-Sha’luki:

“Tasauf adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah.”
Dari seluruh pandangan para Sufi itulah akhirnya Al-Qusayiry menyimpulkan bahwa Sufi dan Tasauf memiliki terminologi tersendiri, sama sekali tidak berawal dari etimologi, karana standar gramatika Arab untuk akar kata tersebut gagal membuktikannya.
Hasil: Dari seluruh definisi itu, semuanya membuktikan adanya adab hubungan antara hamba dengan Allah swt, dan hubungan antara hamba dengan sesamanya. Dengan kata lain, Tasauf merupakan wujud cinta seorang hamba kepada Allah dan RasulNya, pengakuan diri akan haknya sebagai hama dan haknya terhadap sesama di dalam amal kehidupan.

Terminologi Tasauf

Di dalam dunia Tasauf muncul sejumlah istilah-istilah yang sangat populer, dan menjadi terminologi tersendiri dalam disiplin pengetahuan. Dari istilah-istilah tersebut sebenarnya merupakan saranan untuk memudahkan para pemeluk dunia Sufi untuk memahami lebih dalam. Istilah-istilah dalam dunia Sufi, semuanya didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Karana sejumlah ensiklopedia Tasauf untuk memahami sejumlah terminologinya, sebagaimana di bawah ini, yaitu:

Ma’rifatullah, Al-Waqt, Maqam, Haal, Qabdh dan Basth, Haibah dan Uns, Tawajud – Wajd – Wujud, Jam’ dan Farq, Fana’ dan Baqa’, Ghaibah dan Hudhur, Shahw dan Sukr, Dzauq dan Syurb, Mahw dan Itsbat, Sitr dan Tajalli, Muhadharah, Mukasyafah dan Musyahadah, Lawaih, Lawami’ dan Thawali’, Buwadah dan Hujum, Talwin dan Tamkin, Qurb dan Bu’d, Syari’at dan Hakikat, Nafas, Al-Khawathir, Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin, Warid, Syahid, Nafsu, Ruh, Sirr, dan yang lainnya.
Kemudian istilah-istilah yang masuk kategori Maqomat (tahapan) dalam Tasauf, antara lain:

Taubat, Mujahadah, Khalwat, Uzlah, Taqwa, Wara’, Zuhud, Diam, Khauf, Raja’, Huzn, Lapar dan Meninggalkan Syahwat, Khusyu’ dan Tawadhu’, Jihadun Nafs, Dengki, Pergunjingan, Qana’ah, Tawakkal, Syukur, Yakin, Sabar, Muraqabah, Ridha, Ubudiyah, Istiqamah, Ikhlas, Kejujuran, Malu, Kebebasan, Dzikir, Futuwwah, Firasat, Akhlaq, Kedermawaan, Ghirah, Kewalian, Doa, Kefakiran, Tasauf, Adab, Persahabatn, Tauhid, Keluar dari Dunia, Cinta, Rindu, Mursyid, Sama’, Murid, Murad, Karomah, Mimpi, Tarekat, Hakikat, Salik, Abid, Arif, dan seterusnya.

Seluruh istilah tersebut biasanya menjadi tema-tema dalam kitab-kitab Tasauf, kerana perilaku para Sufi tidak lepas dari substansi dibalik istilah-sitilah itu semua, dan nantinya di balik istilah tersebut selain ada substansi, juga mengandung prihal-prihal jalan ruhani itu sendiri.

Directions:
Mohammad Luqman Hakim MA

Tarekat

Tarekat berasal daripada perkataan Arab bermaksud jalan atau cara. Yang dimaksudkan di sini ialah jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dari sudut istilah ia merujuk kepada aliran-aliran yang wujud dalam amalan tasauf atau amalan penyucian hati dan jiwa yang selalunya difokuskan kepada pengamalan zikir-zikir tertentu yang disusun dan dihimpunkan oleh tokoh-tokoh ulama tertentu.

Amalan penyucian diri atau lebih dikenali dengan nama Tasauf adalah sebahagian amalan yang dituntut oleh Islam. Ia berdasarkan sebuah hadis sahih Bukhari dan Muslim yang menceritakan kisah Jibril `alihissalam bertemu dengan baginda saw dan bertanya beberapa soalan penting tentang agama. Antara ialah tentang apa itu iman, apa itu islam dan apa itu ihsan. Baginda menjelaskan bahawa iman itu ialah kamu beriman kepada Allah, MalaikatNya, Rasul-rasulNya, Kitab-kitabNya, Hari Akhirat dan dengan ketentuan baik dan buruk. Islam pula ialah kamu memberi kesaksian bahawa Tiada Tuhan yang mesti disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mengerjakan solat, mengeluarkan zakat, berpuasa bulan Ramadhan dan mengerjakan haji ke Baitillah sekiranya mampu. Ihsan pula ialah bahawa kamu beribadah/memperhambakan diri kepada Allah seolah-olah kamu melihatnya. Sekiranya kamu tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihat kamu.

Iman berkaitan dengan ilmu aqidah iaitu kumpulan keyakinan di hati terhadap perkara-perkara ghaib. Ia melahirkan ilmu Tauhid atau Usuluddin. Islam pula berkaitan dengan pengamalan zahir seperti solat dan sebagainya. Ia melahirkan ilmu Fiqh atau dikenali juga sebagai ilmu syariat. Ihsan pula berkaitan dengan penyucian jiwa. Dari perbahasan Ihsan inilah lahirlah ilmu tentang penyucian jiwa yang lebih dikenali kemudiannya sebagai ilmu Tasauf. Dari sini lahir pula aliran-aliran Tasauf yang pelbagai yang dikenali sebagai Tarekat. Kepelbagaian ini berlaku kerana perbezaan fokus amalan dan perbezaan bentuk-bentuk zikir yang digunakan dalam amalan seharian. Sebahagian zikir ini dipetik daripada al-Qur’an dan hadis, manakala sebahagiannya adalah susunan tokoh-tokoh ulama yang menjadi perintis kepada kumpulan Tarekat tersebut.

Umat Islam wajib menyucikan diri dengan pelbagai amalan yang membawa kepada penyucian hati. Antara amalan yang dianjurkan untuk penyucian jiwa ialah zikir-zikir seharian yang banyak disebut dalam al-Qur’an dan Hadis. Untuk menyucikan diri atau “menjadi ahli sufi”-menurut istilah beberapa pihak-tidak memerlukan diri mengikuti mana-mana kumpulan Tarekat. Umat Islam boleh beramal dengan apa sahaja amalan yang sabit menurut al-Qur’an dan Hadis atau beramal dengan apa sahaja bentuk zikir yang diajar oleh Nabi saw atau yang disusun oleh ulama tanpa perlu menggabungkan diri kepada mana-mana kumpulan Tarekat tersebut.Yang penting ialah membekalkan diri dengan ilmu dengan sentiasa mengikuti majlis-majlis ilmu dan beramal dengan panduan guru-guru yang bertaqwa dan wara`.

Adapun, menggabungkan diri dengan kumpulan-kumpulan Tarekat ini adalah sesuatu yang baik kerana ia membantu seseorang mendekatkan diri kepada Allah dengan panduan seorang guru yang mengetua Tarekat-tarekat tersebut. Namun, perlu dipastikan kumpulan Tarekat tersebut tidak menyeleweng daripada aqidah yang benar dan syariat yang tepat. Ini berlaku kepada Apa yang segelintir kumpulan Tarekat yang wujud di alam Melayu. Justeru, rujukan perlu dibuat kepada pihak berkuasa agama untuk memastikan kumpulan Tarekat yang dikuti tidak menyeleweng.

Mengapa tarekat itu sesat?

Kata Syeikh Ahmad Al-Rafaie, ” Tidak ada jalan yang lebih mudah menghampirkan diri dengan Allah kecuali melalui Tarekat“. Tarekat rupakan bagian terpenting dari pelaksanaan syariat Islam di bidang Tasauf. Mempelajari ilmu Tasauf dengan tidak mengetahui dan melakukan tarekat dianggap sia-sia. Prof. H. Abu Bakar Acheh dalam bukunya ‘Syariat Ilmu Fikah Menurut Kad Tarekat Kadriah’ berkata, ” Dalam ajaran Tasauf diterangkan bahwa syariat itu hanya peraturan belaka, sementara tharikat merupakan perbuatan untuk melaksanakan syariat itu. Apabila syariat dan Tarekat sudah dapat dikuasai maka lahirlah hakikat, yang tidak lain adalah memperbaiki hal ihwal zahiriah (yakni akhlak yang mulia)”.

Menurut Al Ghazali ‘ tarekat adalah sebagian perjalanan syariat batiniah’. Walau bagaimanapun untuk menjalani tarekat, menurut Imam Malik dan Imam Al Ghazali, memerlukan kekuatan di bidang ilmu syariat terutama di bidang Usuluddin (Tauhid). Kelebihan ilmu tarekat amat banyak. Menurut Imam Al Ghazali di dalam kitabnya Al Munkizu Minad Dhalalah bahwa kelebihan ilmu tarekat itu akan menjadikan seseorang yang menjalaninya mempunyai akhlak yang mulia (zahir dan batin) menepati akhlak nabi. Kata Sheikh Muhammad Al Sulaiman,” Barang siapa yang menjalani ilmu tarekat ia akan mendapat kemenangan di dunia dan di akhirat serta kesudahan matinya dalam kebajikan (Husnul khotimah) “. Ahli-ahli tarekat senantiasa bersifat tawaduk dan menjauhi takabur (ego). Kata Sheikh Syed Muhammad Saman,” Orang yang bersusah-susah dan bersunguh-sungguh menempuh jalan riadhatun nafsi (latihan melawan nafsu) dia akan mencapai darjat yang tinggi di sisi Allah SWT “.

Demikian kelebihan-kelebihan batin yang disebut di dalam kitab Sirrus Salikin tentang kelebihan tarekat. Sementara kelebihan zahiriah lainnya adalah yang menjalani ilmu tarekat ia akan mendapat kekuatan ukhwah, mendapat pertolongan Allah dari tentangan musuh, menjadikan dia taat kepada pucuk pimpinan, gigih berjuang dan berkorban dsb. Ini dibuktikan oleh kajian pihak musuh Islam tentang puncak-puncak kekuatan umat Islam dahulu. Pada zahirnya mereka tampak lemah di bidang material tapi susah untuk ditumpas dan dijajah diri, akal dan jiwa mereka.

Laurens Of Arabian salah seorang orientalis sedunia, telah membuat kajian-kajian tentang puncak-puncak kekuatan umat Islam dan didapati bahwasanya kekuatan umat Islam adalah kerana di barisan depannya adalah terdiri dari ahlil-ahli Tasauf dan ahli-ahli tarekat. Mereka adalah orang-orang yang paling gigih menentang penjajahan dan menangkis kepura-puraan yang ditaburkan oleh musuh-musuh Islam. Laurens telah membuktikan hujjahnya dengan sejarah, bagaimana gerakan tarekat Idrisiah di Maghribi (Maroko) berhasil dengan gemilang merebut kemerdekaan dari penjajah. Raja-raja kerajaan Osmaniah dan para tentaranya adalah terdiri dari ahli-ahli tarekat. Mereka berkhalwat beberapa hari sebelum keluar berperang.

Selain itu pihak orientalis atas arahan pihak kolonial telah menyelidiki juga tarekat-tarekat, antara lain Idrisiah di Libya dan beberapa negara Islam lainnya, termasuk kepulauan Melayu oleh Snouck Hurgronje orientalis Belanda di Indonesia. Hasil kajian dan laporan yang diberikan kepada pemerintah kolonial itulah yang menyebabkan lahirnya kecurigaan terhadap gerakan tarekat dalam Islam.

Laurens Of Arabian telah diarahkan supaya menyelidiki ke dalam masyarakat Islam dengan menyamar sebagai ulama dan mendalami ilmu Islam di Mekah dan Mesir (Al Azhar) dan ia telah bertemu dengan ratusan ulama besar yang masyur, memperbincangkan tentang cara untuk membiasakan umat Islam di segi kemajuan dunia seperti kebiasaan barat serta ia menyebarkan faham supaya umat Islam tidak terikat dan tidak fanatik kepada aliran mazhabiah.

Pihak penjajah memandang gerakan tarekat berbahaya bagi kekuasaan mereka. Untuk menyekat dan menghapuskannya, Prof. Haji Abu Bakar Acheh dalam bukunya Syariat telah menyampaikan puncak timbulnya ordinan’s guru tahun 1925 di Indonesia. Melalui ordinan’s itu katanya, bagi guru-guru agama yang hendak mengajar agama terutamanya bidang tarekat hendaklah mendaftarkan diri dan mendaftarkan sekaligus kitab-kitab yang hendak diajarkan.

Sementara itu di negara-negara Asia Timur, Laurens Of Arabian mengupah seorang ulama yang anti tarekat dan anti mazhab untuk menulis sebuah buku yang menyerang tarekat. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis. Akibatnya kerajaan Arab Saudi setelah diambil alih oleh pemimpin yang bermazhab Wahabiah telah mengharamkan Tasauf dan Tarekat. Sedangkan di situlah (Mekah dan Madinah) asal mulanya pusat gerakan tarekat. Aliran faham anti tasauf dan tarekat itu telah menguasai di pusat-pusat pengajian di Timur Tengah dan pusat pengajian di Eropa, sehingga para pelajar termasuk di negara ini yang sekarang telah bergelar ulama mengikuti aliran itu.

Selain menggunakan media masa (buku dan majalah) untuk menghapuskan tarekat sufi, pihak musuh Islam juga menggunakan berbagai cara lain, diantaranya mereka menciptakan tarekat sesat (palsu) dan menyelewengkan tarekat yang sebenarnya dengan menyeludupkan ajaran-ajaran mereka ke dalam gerakan tarekat. Ajaran mereka itulah yang mendakwa konon mendapat wahyu, dilantik menjadi nabi, menjadi Nabi Isa, Imam Mahdi dan lain sebagainya. Di antaranya yang jelas kepada kita adalah gerakan Qadiani, Bahai, Ismailiah di India, pimpinan Agha Khan dll.

Seorang penulis barat A.J. Quine dalam novelnya The Mahdi menyampaikan tentang bagaimana dua badan dunia mewujudkan Al Mahdi palsu untuk merusak keyakinan umat Islam terhadap Al Mahdi yang sebenarnya yang disebut oleh Rasulullah SAW akan muncul di akhir zaman.Gerakan tarekat sesat (palsu) telah dikembangkan di seluruh dunia dan ini menjadi alasan bagi ulama anti tarekat untuk menguatkan hujjah mereka bahwa tarekat bukanlah ajaran Islam termasuk bertawassul itu suatu perbuatan sirik. Gerakan tarekat sesat tersebut tidak mustahil datang (tersebar) di negara kita sehingga merusak tarekat yang sebenarnya. Akibatnya pihak yang berwenang melakukan penyelidikan atas tarekat sesat tersebut kemudian membuat kesimpulan menyalahkan semua tarekat-tarekat yang ada termasuk tarekat yang haq.

Kalau pihak tertentu membuat kesimpulan mendakwa aliran tarekat semuanya sesat, lalu bagaimana kita hendak menghukumkan kepada ulama-ulama terdahulu yang mengasaskan, mengajarkan dan mengamalkan tarekat seperti Al Ghazali (Tarekat Al Ghazaliah), Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani (Tarekat Qadiriah), Abdul Hasan Ali Asysily (Tarekat Syaziliyah), Muhammad Bin Bahaudin Naqsyabandi (Tarekat Naqsyabandiah) dan yang lainnya seperti Rafieyah, Ahmadiyah, Dasuqiyah, Satariyah dan sebanyak lebih dari 40 buah tarekat ?

Kalau terdapat kesilapan dari segi pelaksanaan oleh khalifah atau syeikh tarekat yang kemudian (mutaakhirin) ini, itu adalah disebabkan kelemahan pribadi mereka sebagai manusia. Maka tidaklah sepantasnya diambil kesimpulan mengharamkan tarekat yang haq, sama seperti menuduh pengikutnya juga sesat. Sedang mereka terdiri dari orang-orang yang salih dan para Wali Allah.

Selasa, 27 Mei 2008

Hukum Dhikrullah Dan Kedudukannya

Berdasarkan kepada beberapa ayat al-Qur'an yang memerintahkan orang-orang yang beriman supaya membanyakkan dhikrullah itu apakah hukumnya dhikrullah? Adakah wajib atau sunat, fardhu atau nafilah? Semua ulamak berpendapat hukumnya adalah sunat/nafilah. Bagaimanapun ianya boleh bertukar menjadi wajib musabbab iaitu bagi seorang yang sedar bahawa dirinya akan selamat dari kejahatan zahir dan batin hanya dengan jalan membanyakkan amalan dhikrullah atau terus menerus berdhikrullah, maka wajiblah dhikrullah ke atas orang tersebut.

Wajib musabbab ini adalah termasuk dalam kaedah ilmu usul fiqh yang menyebutkan:
Maksudnya:
"Sesuatu perkara yang menyebabkan sesuatu kewalipan tidak akan dapat disempurnakan kecuali dengannya, maka perkara tersebut (walaupun asalnya harus atau sunat) adalah wajib juga hukumnya."

Mencari tali dan baldi adalah harus, tetapi pada satu masa dalam satu keadaan tertentu iaitu jika tidak ada kedua-duanya air, tidak dapat diambil kerana perigi dalam. Air tidak ada, wuduk tidak dapat dibuat dan sembahyang juga tidak dapat dilakukan. Maka wajiblah bagi orang tersebut mencari tali dan baldi. Ghaflah/lalai adalah salah satu punca kerosakan hati dan rohani manusia yang tidak mudah untuk menghapuskannya. Orang-orang yang ghaflah (ghafilun) kedudukannya lebih buruk dari binatang ternak. (lihat surah Al-Araf, ayat 179). Maka sesiapa yang sedar ghaflahnya tidak boleh hilang kecuali dengan dhikrullah maka wajiblah ia berdhikrullah.

Walaupun dhikrullah hukumnya sunat/nafilah dan hanya menjadi wajib jika ada sesuatu sebab, namun kedudukan dan peranannya sangat penting. Setengah ulamak tasawwuf melihat kedudukannya dengan menghubungkannya dengan rukun Islam yang lima : Mengucap dua kalimah sahadah, sembahyang lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, zakat dan menunaikan haji jika berkuasa. Oleh kerana dhikrullah itu ada hubungannya secara langsung dengan dua kalimah syahadah maka ianya sangat penting dan merupakan amalan nafilah/sunat yang paling utama dan paling afdal. Keutamaanya bukan hanya disebabkan ada hubungannya dengan rukun Islam yang pertama, tetapi juga kerana dhikrullah itu dapat menguatkan iman, dapat meningkatkan ilmu dan kefahaman tauhid hingga sampai ke tingkat hakikat dan marifah, dapat juga memperbaiki sifat dan keadaan 'ubudiyyah kita dan sebagainya lagi. Tegasnya dhikrullah adalah jalan mengenal Allah secara dhawqi.

Apabila Nabi Musa a।s. munajat kepada Allah agar Allah kurniakan satu amalan yang khusus kerana dirinya sebagai nabi dan rasul, maka Allah perintahkan supaya beliau menyebut-yebut لااله الاالله Nabi Musa 'a.s. menyatakan bahawa orang ramai yang beriman telah pun selalu menyebutnya. Allah menegaskan kepada baginda dengan flrmannya yang bermaksud:
"Sekiranya langit dengan segala-isinya, bumi dengan segala isinya dan apa sahaja yang ada di antara langit dan bumi diletakkan di sebelah dacing dan kalimah لااله الاالله itu diletakkan di sebelah yang satu lagi, nescaya لااله الاالله itu lebih berat."

Pengalaman yang diialui oleh Nabi Musa 'a.s. tersebut dialami juga oleh Saidina "Ali. Beliau ragu-ragu bila Rasulullah s.a.w. menyuruhnya supaya sentiasa berdhikrullah jika mahu cepat sampai kepada ma'rifatullah dan keredhaanNya. Lalu beliau berkata:Maksudnya:
"Orang ramai telah berdhikrullah ya Rasulullah maka (ajarkan) aku sesuatu yang khusus."

Rasulullah s.a.w. lantas bersabda:Maksudnya:
"Perkara yang paling afdal yang aku ucapkan dan para nabi sebelumku ialah لااله الاالله sekiranya semua langit dan bumi ini berada di sebelah dacing dan لااله الاالله itu berada di sebelah yang satu lagi nescaya لااله الاالله itu lebih berat. Dan hari kiamat tidak akan berlaku sedang di atas muka bumi ini yang menyebut لااله الاالله ."

Dalam sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Tarmidhi dan Ibn Majah, Rasulullah s.'a.w. menegaskan bahawa dhikrullah itu lebih baik dari amalan sedekah dan berperang melawan musuh. Sabda baginda :Maksudnya :
"Sukakah kamu akan beri tahu sebaik-baik amalan kamu dan sebersih-bersihnya di sisi Tuhan kamu, paling tinggi darjat kamu, lebih baik dari mendermakan emas dan perak lebih baik dari kamu menetak leher musuh mereka dan mereka menetak leher kamu? Para sahabat menjawab : Bahkan (kami mahu mendengamya). Baginda bersabda:"Dhikrullah."

Minggu, 25 Mei 2008

Dhikr Sirr dan Jihar

Al-Qur'an bukan hanya memerintahkan kita supaya berdhikrullah tetapi juga menjelaskan cara bagaimana dhikrullah itu dilakukan.
Misalnya dhikrullah itu hendaklah dilakukan secara jihar atau secara sir di dalam hati. Allah berfirman : Maksudnya:
'Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut (kepadaNya) dan tanpa ada suara di pagi hari dan petang (sepanjang siang dan malam) dan janganlah kamu menjadi orang-orang yang lalai.
(Surah Al-A'raf, ayat 205)
Menurut Shaikh Fakhr al-Din al-Razi dalam kitab tafsirnya, Mafatih al-Ghayib bahawa walaupun ayat ini asalnya ditujukan kepada Rasulullah s.'a.w namum mengikut maksud lafaz perkataan ayat di atas ditujukan juga kepada umatnya. Oleh itu sayugialah umatnya melakukan dhikr sirr atau khafi ini. Rasulullah s.'a.w sememangnya sentiasa berdhikir dalam hati. Baginda pernah bersabda :Maksudnya:
'Sesungguhnya kedua-dua mataku menidurkan aku, padahalnya hatiku tidak tidur.'
Maksud hati nabi tidak tidur ialah hati baginda sentiasa berdhikrullah ketika baginda tidur.

Berhubung dhikr jihar atau bersuara kuat Ibn Abbas pernah menyebutkan bahawasanya menguatkan suara dengan dhikrullah setelah mengerjakan sembahyang fardhu itu dilakukan di zaman Rasuluilah s.a.w, sehingga beliau akan dapat tahu mereka telah selesai menunaikan sembahyang fardhu dengan cara terdengar mereka berdhikrullah dengan suara kuat'.(Sahih Bukhari, Jilid 1:802; 803)

Timbullah masalah mana yang afdhal atau yang lebih baik, dhikr jihar atau sirr ?

Setengah ulamak tasawuf berpendapat bahawa dhikr jihar adalah lebih baik/afdhal. Sebaliknya setengahnya berpendapat bahawa dhikr sirr lebih baik/afdhal kerana ianya tidak menimbulkan riyak, ujub dan tidak menganggu orang lain, terutamanya jika dilakukan di masjid atau sebagainya. Lagi pun dhikr sirr itu boleh dilakukan terus-menerus dalam apa keadaan sekalipun sambil bekerja atau bercakap.

Al-Imam al-Nawawi pula berkata yang bermaksud :

"Dhikr itu ada kalanya di hati dan ada kalanya di lidah dan yang afdhalnya ialah dhikr di hati dan di lidah kedua-duanya sekali. Sekiranya dilakukan di salah satunya sahaja maka dhikr di hati itulah yang lebih afdhal"
(Al-Futuhat al-Rabaniyyah, Jld. 1, h.108)

Terdapat hadith-hadith yang berlawanan, ada hadith yang menyebutkan bahawa dhikr sirr itu lebih afdhal dan ada juga hadith yang menyebutkan bahawa dhikr jihar itu lebih afdhal, kerana itu setengah ulamak dalam usaha mereka menyesuaikan hadith-hadith yang berlawanan tersebut supaya dapat diterima kebenaran semuanya dengan mengatanya bahawa yang mana satu yang lebih afdhal itu bergantung kepada seseorang yang melakukannya dan juga bergantung kepada suasana dan keadaan. Jika seseorang itu perlu berdhikr kuat dan tidak menimbulkan gangguan serta lebih baik kesannya maka afdhallah baginya dhikr jihar/kuat suara. Sebaliknya jika seseorang itu merasakan dengan dhikr sirr lebih baik dan lebih berkesan maka afdhal baginya dhikr sirr.

--------------------------------------------------------------------------------

Dhikr Ism Dhat Allah Dan Lain-Lainnya

Dari ayat 25 Surah al-Dahr(al-Insaan) dan ayat 8 Surah Muzammil di atas, jelas membuktikan bahawa dhikr Ism al-Dhat Allah, Allah... adalah disyari'atkan bukan bid'ah. Demikian juga dhikr dengan mana-mana asma' al-husna adalah dibolehkan, malahan Allah menegaskan dengan firmannya:Maksudnya:
"'Katakanlah (Ya Muhammad) Sebutlah Allah atau sebutlah al-Rahman.
Dengan nama yang mana kamu sebutkan, Allah mempunyai asma" husna (nama-nama yang terbaik).(Surah al-Israa', ayat 110)
Allah berfirman:Maksudnya:
"katakanlah (Ya Muhammad) Allah, kemudian biarkan mereka (orang-orang kafir itu) bermain-main dalam gelanggang kesesatan mereka. "(Surah al-An'aam, ayat 91)
Nabi s.a.w juga pernah bersabda: Maksudnya:
"Hari kiamat tidak akan terjadi sehingga di bumi ini tidak ada lagi disebut Allah, Allah (dan Allah tidak disembah)"

Menurut pandangan Shaikh al-Taiyibi bahawa hadith di atas bermakna hari kiamat tidak akan berlaku sehingga sampai satu zaman di mana tidak ada lagi manusia yang menyebut nama Allah dan tidak ada yang menyembah atau mentaatinya.('Ali al-Qaric, Mu'qqat al-Mafatih, Jld. 5, h. 226)

Dari fakta di atas maka dhikr Ism Dhat Allah," Allah", itu disyariatkan. Nyatalah kesalahan dan kesilapan pandangan mereka yang selalu mengkritik amalan dhikr, "Allah, Allah" itu. Sebutan Allah, Allah tidak dalam ayat yang lengkap (جعلة تامة مفيدة) seperti Allahu Akbar dan sebagainya. Memang pada zahirya ucapan kalimah Allah, Allah itu semacam bukan jumlah mufidah tetapi pada hakikatnya bagi orang yang berdhikr sebutan itu telah menjadi jumlah mufidah, kerana orang yang berzikir itu akan menyertakan muraqabah atau tafakkur terhadap mana-mana dari berbagai sifat-sifat Allah. Misal wujudNya keagonganNya atau kesempurnaanNya dan sebagainya lagi.

Malahan kebanyakan ulamak tasawuf menegaskan kelebihan dan keistimewaan dhikr Ism Dhat Allah, Allah ini. Ibn 'Ajibah menyebutkan "Al-Ism al-mufrad" (Allah) adalah sultan bagi nama-nama Allah iaitu nama Allah yang teragong. Hendaklah simurid itu sentiasa menyebutnya dengan lidahnya sehingga nama Allah itu sebati dengan darah dagingnya dan meresap cahayaNya keseluruhan zahir dan batinnya dan setiap bahagian dirinya. Sheikh Abu Qasim al-Junaidi pula menyebutkan:

"Orang (yang benar-benar) dapat mengingati nama ini (Allah) hilang rasa wujud diri, erat hubungannya dengan Tuhannya, sentiasa melaksanakan hak Tuhannya, hatinya sentiasa memandangNya, berbagai nur shuhud (yang Allah kurniakan) menghapuskan berbagai sifat-sifat jahatnya."

Adapun لااله الاالله dhikr atau dhikr tahlil sememangnya sangat jelas menjadi yang disyari'atkan juga kepada para nabi sekeliannya. Rasulullah s.a.w pernah bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Tibrani:Maksudnya:
"Sebaik-baik yang aku ucapkan dan para nabi sebelumku ialah لااله الاالله "

Dalam al-Quran kalimah لااله الاالله ini dikenali sebagai Kalimah Tayyibah, Kalimah Taqwa, Qawl Thabit. Dengan kalimah لااله الاالله inilah Allah meneguhkan kehidupan orang-orang mukmin, zahir dan batin mereka di dunia dan di akhirat. Allah berfirman:Maksudnya :
"Allah meneguhkan kehidupan (zahir dan batin/iman) orang-orang yang beriman dengan al-Qawl al-Thitab لااله الاالله di dunia dan akhirat."(Surah Ibrahim, ayat 27)

Antara caranya untuk menguatkan iman dengan kalimah tersebut ialah dengan membanyakkan menyebut dan mengingati maksud, tujuannya. Sebab itulah bila para sahabat bertanya kepada Rasulullah s.'a.w bagaimana caranya untuk menguatkan dan membaharui semangat iman, maka baginda bersabda:Maksudnya:
"Perbanyakanlah menyebut لااله الاالله"
________________________________________

Amaran Terhadap Mereka Yang Tidak Berdhikir

Allah melarang kita, orang yang beriman daripada bersifat dan bersikap seperti orang-orang fasik yang melupakan Allah. Sebab lalai dan tidak ingat Allah itu sifat yang sangat buruk. Allah berfirman;Maksudnya:Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang telah melupakan (perintah-perintah) Allah, lalu Allah menjadikan mereka melupakan (amal-amal yang baik untuk menyelamatkan) diri mereka. Mereka itulah orang-orang yang fasik-derhaka.(Surah al-Hasyr, ayat 19)

Allah melarang kita dari bersifat lalai (ghaflah) dengan firmannya;Maksudnya.... dan janganlah engkau menjadi dari orang-orang yang lalai.(Surah al-A'raaf, ayat 205)

Sifat ghaflah sangat buruk, boleh merendahkan taraf manusia menjadi lebih rendah dari taraf binatang ternak. Allah berfirman;Maksudnya.... mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi; mereka itulah orang-orang yang lalai.(Surah al-A'ra'af, ayat 179)

Allah mencela orang-orang munafik ker-ana bila mereka bangun sembahyang dalam keadaan malas bersifat riya' dan mereka tidak berdhikrullah kecuali sangat sedikit. Firman Allah;Maksudnya.... dan mereka pula tidak mengingati Allah (dengan mengerjakan sembahyang) melainkan sedikit sekali (jarang-jarang). Ameriwayatkan hadith yang berasal dari Abu Hurairah (r.'a.)Maksudnya..."Tidak ada satu golongan manusia yang bangun dari sesuatu majlis yang tidak ada di dalamnya mengingati Allah kecuali mereka itu bangun (keadaan mereka) seperti bangkai himar. Adalah mereka itu rugi di hari kiamat nanti."

Shaikh Abu al-Hasan al-Shadhaii (w. 656H) berkata:Maksudnya..."Di antara tanda munafik ialah lidah berasa berat untuk berdhikr. Bertaubatiah kepada Allah, Allah akan meringankan dhikr di lidah anda."
________________________________________